Ulasan Buku

on 1:25 AM

Judul Buku: Mati Baik-Baik, Kawan
Pengarang/Penyunting: Martin Aleida
Penerbit: Akar
Bahasa: Indonesia, Asli
Tahun Terbit: 2009
Nilai:
4
Sinopsis:

Sebuah buku berupa anthologi cerpen yang memberi sudut pandang korban pada permasalahan sekitar 65
Ulasan:

SEJARAH, CERPEN DAN SUDUT PANDANG ALTERNATIF

Membicarakan permasalahan ’65 merupakan masalah yang sangat pelik dengan data sejarah yang samar-samar. Sejak tumbangnya rezim pemerintahan Soeharto tahun 1998, isu ini mendadak terangkat ke permukaan lagi. Label tabu pada diskusi dan pembicaraan perihal seputar ’65 perlahan-lahan disingkap dan disingkirkan. Stigma-stigma pada suatu kelompok maupun paham tertentu yang dianggap terlibat langsung terhadap situasi tahun-tahun seputar ’65 mulai memudar (baca: belum sepenuhnya hilang). Pada ranah pendidikan, penambahan tiga huruf “PKI” setelah jargon “G30S” tidak digunakan lagi. Begitu juga dalam ranah sastra, tema sekitaran ’65 kembali mewarnai toko-toko buku dalam antologi puisi, cerpen, naskah drama dan novel.

Martin Aleida adalah salah satu orang yang giat mengangkat cerita-cerita dibalik tahun-tahun tergelap bangsa Indonesia tersebut. Dia merupakan salah satu penulis yang dengan keteguhan hatinya terus menerus menjaga agar bab ini tidak tertutup tanpa titik penerang. Melalui antologi cerpennya “Mati Baik-baik, Kawan” ini, Martin Aleida mencoba membawa para penikmat sastra Indonesia melihat sisi lain dari kejadian ’65.
Yang membuat pembicaraan tentang sebuah kejadian yang membawa Soeharto ke tampuk kekuasaan selama 32 ini adalah banyaknya versi sejarah yang hadir ditengah-tengah mayarakat. Paling tidak ada dua sudut pandang dalam menelaah kejadian tersebut yang menuntun pada tiga versi sejarah yang berbeda. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang bentukan Soeharto, yang kedua sudut pandang korban-korban pe-label-an sebagai “dalang”. Martin Aleida melalui karya-karyanya memilih menjalani pilihan yang kedua. Cerpen-cerpennya dalam antologi ini mengangkat cerita-cerita para korban stigmatisasi bentukan Orde Baru. Dengan rinci dan mendalam satu per satu kasus diolahnya. Kasus-kasus kegiatan PKI beserta ormas-ormasnya seperti ‘pengambil-alihan’ tanah atau pengambilan orang secara paksa oleh aparat Negara dan pengasingan serta dampak-dampaknya baik secara personal maupun komunal dirangkum dalam cerpen-cerpen realisme lugas.

Yang tidak biasa dari cerpen-cerpen penulis kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara, 66 tahun yang lalu ini adalah kedalaman penglihatannya pada korban-korban. Kebiasaan-kebiasaan yang dikarenakan tekanan pemerintahan waktu itu mampu ditulis dengan tingkat kedalaman yang hanya mampu ditulis oleh penulis dengan penelitian yang tidak main-main. Tengoklah cerpennya yang berjudul “Liontin Dewangga”, cerpen ini pernah meraih penghargaan dari Departeman Pendidikan Nasional, menceritakan bagaimana pasangan suami-istri saling menutupi sehingga saling tidak mengetahui bahwa keduanya merupakan korban dari pe-label-an. Kebenaran akan masa lalu mereka baru terbuka saat sang istri menjelang hembusan nafas terakhirnya. Dalam cerpen ini, para pembaca dapat melihat bagaimana ketertutupan dan kebungkaman hasil bentukan Orde baru mencengkeram bukan hanya antar korban dan orang-orang diluarnya namun juga diantara para korban. Dan kebungkaman inilah yang selama lebih dari 30 tahun tema-tema seputar ’65 teronggok hampir tak terusik dalam segala ranah. Kebisaan hasil repsresi juga tersirat pada cerpen pertama yang judulnya juga dijadikan judul antologi ini, “Mati Baik-baik, Kawan”. Lari menjadi tema utama dalam cerpen ini. diceritakan pada cerpen ini bagaimana seorang pemuda Bali bernama Mangku melarikan diri akibat tekanan ditanah asalnya. Apabila kita melihat dokumen sejarah atau penuturan para korban maka sebagian besar akan mengandung unsur pelarian yang dialami para korban dikarenakan tekanan dari dua sisi (masyarakat dan aparat Negara) yang sangat kuat.
Kedalaman penglihatan Martin Aleida inilah kekuatan dari cerpen-cerpennya. Kedalaman penglihatannya pada kejadian, baik yang ia alami langsung maupun penuturan korban-korban, didukung dengan gaya realisme membuat karyanya dapat ditempatkan dalam satu rak dengan dokumen-dokumen sejarah. Disinilah letak titik berat paling menohok dari cerpen Martin Aleida, menjadi sebuah alternatif sudut pandang atas sejarah yang masih samar-samar tersebut. Seperti pada “Liontin Dewangga” dan “Mati Baik-baik, Kawan”, cerita mendalam dengan penekanan pada pengalaman-pengalaman para korban pe-label-an memberi sejumlah pengalaman baru para pembaca (baca: rakyat Indonesia) tentang kejadian-kejadian perihal ’65 yang selama masa Orde Baru sengaja dilupakan. Senada dengan esai penutup oleh Katrin Bandel pada bagian akhir buku ini, bahwa karya-karya Martin Aleida mampu keluar dari karya-karya yang mengangkat tema serupa dikarenakan berani mempertanyakan “apa yang salah dengan Komunisme?”. Kemampuan cerpen-cerpen ini mendekatkan kondisi para korban pada pembaca membuat bahwa sebenarnya mereka yang saat itu terlibat maupun yang “dilibatkan” (baca: di-label-i) bukanlah orang-orang hebat yang oleh Orde Baru dibuat seolah-olah mereka adalah orang-orang luar biasa yang mampu meruntuhkan Negara ini. Pergeseran sudut pandang oleh Martin Aleida dengan meminjam badan cerpen-cerpennya ini benar-benar menyuguhkan referensi segar bahwa titik berdiri lain mengenai fakta-fakta sejarah seputaran ’65 memang sangat mungkin dilakukan.

Slide Show

Your pictures and fotos in a slideshow on MySpace, eBay, Facebook or your website!view all pictures of this slideshow